Perlindungan Konsumen Masih Jalan di Tempat
Perlindungan Konsumen Masih Jalan di Tempat
Oleh Nanang Nelson
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK) yang telah dua tahun di undangkan sejak 20 April 1999, ternyata implementasinya masih jalan di tempat. UU yang diharapkan mampu menjadi senjata bagi konsumen ini belum mendapat ruang yang cukup untuk segera diberlakukan. Berbagai kendala masih menghadang dalam upaya implementasinya. Kendala utamanya bukanlah teknis, tetapi lebih pada kendala politis. Saat ini tampaknya pemerintah memiliki prioritas politik tersendiri dan tidak cukup energi untuk serius menegakkan hak konsumen dengan mengimplementasikan UU PK ini. Secara lebih rinci dapat disebutkan bahwa kendala yang dihadapi paling tidak ada tiga, yaitu:
Pertama, belum segera berdirinya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Malang. Badan inilah sebenarnya yang menjadi ujung tombak secara institusional bagi pelaksanaan perlindungan konsumen sekaligus penyelesaian setiap sengketa yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha. Pemerintah adalah penanggung jawab atas terbentuknya badan ini. BPSK dibentuk dan berkedudukan di Daerah Tingkat II. Praktis tanpa keberadaan kedua lembaga ini UU PK menjadi pincang atau bahkan lumpuh.
Kedua, masih rendahnya kesadaran konsumen dalam memperhatikan dan menegakkan hak-haknya. Hal ini secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi keseriusan pemerintah dan semua kalangan terkait dalam menjalankan UU PK. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tekanan dan dorongan dari masyarakat bawah merupakan pemicu ampuh bagi pemerintah untuk segera merespon sebuah kebijakan.
Dari kedua faktor yang menghambat terimplementasinya UU PK tersebut, terlihat bahwa sebab utamanya adalah masalah politik yaitu ketidak seriusan pemerintah untuk menjalankannya. Sedangkan faktor selanjutnya adalah masalah kultur. Akan tetapi apapun yang terjadi, implementasi UU PK mestinya mendapatkan ruang yang cukup. Pemerintah harus menyisihkan perhatiannya demi kepentingan konsumen. Langkah-langkah menuju ke sana harus segera ditempuh dan pemerintah perlu menentukan beberapa prioritas langkah strategis yang mesti diambil.
Pertama, lebih memberdayakan peran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang saat ini telah ada. Sebagaimana diatur dalam UU PK bahwa LPKSM sebagai wujud peran serta masyarakat dalam melindungi konsumen telah diberi peluang untuk berperan lebih aktif. Dalam hal ini seharusnya pemerintah memberikan delegasi kewenangan tersebut dengan baik, bukan malah menghambat dengan berbagai perijinan yang akan diterapkan. Dengan optimalnya peran LPKSM diharapkan akan memberi tekanan dan dorongan yang signifikan bagi pemerintah dalam menjalankan UU ini.
Kedua, melakukan pembelajaran konsumen yang dilakukan bersama-sama antara konsumen dan pemerintah. Upaya pembelajaran ini harus menjadi tanggung jawab secara bersama-sama. Terkesan selama ini permasalahan pendidikan konsumen diserahkan semuanya kepada konsumen dalam hal ini LPKSM dan pemerintah lepas tangan. Selain penanganan secara bersama, perlu juga membuat formula pendidikannya secara efektif, dimana pendekatan praktek penegakan hukum adalah salah satu cara yang tepat. Disinilah pentingnya sebuah kerjasama antara pemerintah dan konsumen serta pentingnya aparat birokrasi dan penegak hukum yang bersih dan jujur.
Bersamaan dengan kedua hal diatas, yang kemudian penting pula menjadi catatan adalah keseriusan dan komitmen semua pihak untuk mendudukkan hak konsumen pada proporsinya. Para pihak yang terkait dalam proses penegakan hak konsumen ini, baik konsumen, pemerintah maupun pelaku usaha diharapkan secara sadar memberikan kontribusi positif dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi terciptanya keadilan konsumen.
Terciptanya keadilan konsumen akan mampu menjadi tonggak bagi terbangunnya produktifitas nasional. Betapa tidak jika dengan berdayanya konsumen, maka konsumen akan dapat mengapresiasikan selera kebutuhannya dengan leluasa. Dampak dari keleluasaan mengapresiasi selera ini adalah tuntutan akan mutu dan kualitas produk yang dia konsumsi. Dengan makin tingginya selera dan pilihan konsumen, maka produsen akan berpikir ulang jika harus menyajikan produk yang rendah mutunya.
Atas kenyataan inilah kemudian persaingan sehat antar produsen terjadi, yang pada gilirannya akan menantang keunggulan kinerja sektor usaha. Dengan meningkatnya kinerja sektor usaha maka produktifitas nasional adalah hal yang niscaya menyusul kemudian. Dengan demikian amat disesalkan jika kepentingan konsumen dipandang sebagai hal yang remeh dan patut disepelekan, karena ternyata implikasinya secara makro menjadi tidak sepele.
Penulis adalah pemerhati masalah perlindungan konsumen.
Oleh Nanang Nelson
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK) yang telah dua tahun di undangkan sejak 20 April 1999, ternyata implementasinya masih jalan di tempat. UU yang diharapkan mampu menjadi senjata bagi konsumen ini belum mendapat ruang yang cukup untuk segera diberlakukan. Berbagai kendala masih menghadang dalam upaya implementasinya. Kendala utamanya bukanlah teknis, tetapi lebih pada kendala politis. Saat ini tampaknya pemerintah memiliki prioritas politik tersendiri dan tidak cukup energi untuk serius menegakkan hak konsumen dengan mengimplementasikan UU PK ini. Secara lebih rinci dapat disebutkan bahwa kendala yang dihadapi paling tidak ada tiga, yaitu:
Pertama, belum segera berdirinya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Malang. Badan inilah sebenarnya yang menjadi ujung tombak secara institusional bagi pelaksanaan perlindungan konsumen sekaligus penyelesaian setiap sengketa yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha. Pemerintah adalah penanggung jawab atas terbentuknya badan ini. BPSK dibentuk dan berkedudukan di Daerah Tingkat II. Praktis tanpa keberadaan kedua lembaga ini UU PK menjadi pincang atau bahkan lumpuh.
Kedua, masih rendahnya kesadaran konsumen dalam memperhatikan dan menegakkan hak-haknya. Hal ini secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi keseriusan pemerintah dan semua kalangan terkait dalam menjalankan UU PK. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tekanan dan dorongan dari masyarakat bawah merupakan pemicu ampuh bagi pemerintah untuk segera merespon sebuah kebijakan.
Dari kedua faktor yang menghambat terimplementasinya UU PK tersebut, terlihat bahwa sebab utamanya adalah masalah politik yaitu ketidak seriusan pemerintah untuk menjalankannya. Sedangkan faktor selanjutnya adalah masalah kultur. Akan tetapi apapun yang terjadi, implementasi UU PK mestinya mendapatkan ruang yang cukup. Pemerintah harus menyisihkan perhatiannya demi kepentingan konsumen. Langkah-langkah menuju ke sana harus segera ditempuh dan pemerintah perlu menentukan beberapa prioritas langkah strategis yang mesti diambil.
Pertama, lebih memberdayakan peran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang saat ini telah ada. Sebagaimana diatur dalam UU PK bahwa LPKSM sebagai wujud peran serta masyarakat dalam melindungi konsumen telah diberi peluang untuk berperan lebih aktif. Dalam hal ini seharusnya pemerintah memberikan delegasi kewenangan tersebut dengan baik, bukan malah menghambat dengan berbagai perijinan yang akan diterapkan. Dengan optimalnya peran LPKSM diharapkan akan memberi tekanan dan dorongan yang signifikan bagi pemerintah dalam menjalankan UU ini.
Kedua, melakukan pembelajaran konsumen yang dilakukan bersama-sama antara konsumen dan pemerintah. Upaya pembelajaran ini harus menjadi tanggung jawab secara bersama-sama. Terkesan selama ini permasalahan pendidikan konsumen diserahkan semuanya kepada konsumen dalam hal ini LPKSM dan pemerintah lepas tangan. Selain penanganan secara bersama, perlu juga membuat formula pendidikannya secara efektif, dimana pendekatan praktek penegakan hukum adalah salah satu cara yang tepat. Disinilah pentingnya sebuah kerjasama antara pemerintah dan konsumen serta pentingnya aparat birokrasi dan penegak hukum yang bersih dan jujur.
Bersamaan dengan kedua hal diatas, yang kemudian penting pula menjadi catatan adalah keseriusan dan komitmen semua pihak untuk mendudukkan hak konsumen pada proporsinya. Para pihak yang terkait dalam proses penegakan hak konsumen ini, baik konsumen, pemerintah maupun pelaku usaha diharapkan secara sadar memberikan kontribusi positif dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi terciptanya keadilan konsumen.
Terciptanya keadilan konsumen akan mampu menjadi tonggak bagi terbangunnya produktifitas nasional. Betapa tidak jika dengan berdayanya konsumen, maka konsumen akan dapat mengapresiasikan selera kebutuhannya dengan leluasa. Dampak dari keleluasaan mengapresiasi selera ini adalah tuntutan akan mutu dan kualitas produk yang dia konsumsi. Dengan makin tingginya selera dan pilihan konsumen, maka produsen akan berpikir ulang jika harus menyajikan produk yang rendah mutunya.
Atas kenyataan inilah kemudian persaingan sehat antar produsen terjadi, yang pada gilirannya akan menantang keunggulan kinerja sektor usaha. Dengan meningkatnya kinerja sektor usaha maka produktifitas nasional adalah hal yang niscaya menyusul kemudian. Dengan demikian amat disesalkan jika kepentingan konsumen dipandang sebagai hal yang remeh dan patut disepelekan, karena ternyata implikasinya secara makro menjadi tidak sepele.
Penulis adalah pemerhati masalah perlindungan konsumen.
1 komentar:
Leave a Reply
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Thank's Infonya Bray .. !!!
www.bisnistiket.co.id