Myspace Marquee Text -/

Image and video hosting by TinyPic

Tanggung Jawab Industri dalam Ketahanan Pangan



Tanggung Jawab Industri dalam Ketahanan Pangan
Oleh: gwaspada
Gizi.net - Bab VI UU No 7/1996 tentang Pangan, yang terdiri 4 pasal yaitu pasal 41-44, secara khusus mengatur tanggung jawab industri pangan. Pasal 41 menyebutkan bahwa Badan Usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut, bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengonsumsi pangan tersebut (ayat 1).
     Selanjutnya, ayat 2 pasal tersebut menyatakan, bahwa orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris dari orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena mengonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan ganti rugi terhadap badan usaha, dan atau orang perseorangan dalam badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tersebut.
     Ayat selanjutnya (ayat 3 dan ayat 4) menjelaskan kewajiban dan hak badan usaha dan atau orang perorangan apabila pangan olahan yang diedarkan terbukti atau tidak terbukti mengandung bahan yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia atau mengandung bahan lain yang dilarang.
     Apabila dilihat lebih jauh, tampak bahwa Bab VI ter- sebut (khususnya pasal 42 dan 43) mengatur hak dan kewajiban antara konsumen dan badan usaha dan atau perorangan dalam badan usaha.
     Dapat dimengerti perlunya pengaturan hak dan kewajiban tersebut, karena pada saat undang-undang tersebut diundangkan, pengaturan seperti tersebut di atas belum ditetapkan secara baik. Pada tahun 1999, DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, dan disahkan oleh Pemerintah menjadi Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, implementasi pasal 41-44 UU No 7/1996 akan lebih cocok berada di bawah wilayah peraturan pelaksanaan perlindungan konsumen.

Industri Pangan
     Apakah tanggung jawab industri pangan dalam mewujudkan ketahanan pangan hanya terbatas sampai kepada hubungannya dengan konsumen seperti yang dijelaskan dalam Bab VI tersebut? Pada akhir-akhir ini berkembang ide tentang corporate citizenship yang merupakan padanan dan perluasan dari citizenship itu sendiri.
     Apabila warga negara di suatu negara dikenakan berbagai kewajiban dan diberikan hak-haknya, termasuk apabila akan menetap dan menjadi warga negara baru suatu negara, apakah corporate yang mempunyai dampak lebih luas terhadap masyarakat di mana corporate itu beroperasi tidak dikenakan kewajiban dan diberikan hak selain kewajiban pajaknya saja? Apabila orang perseorangan memiliki kewajiban sosial, apakah corporate tidak memiliki social responsibility, yang mengakibatkan korporasi dapat melakukan operasinya sesuai dengan keinginannya?
     Dengan pandangan seperti ini, maka pasal 41-44 UU No 7/1996 tersebut tidak dapat dibaca secara terpisah dengan pasal-pasal lainnya, khususnya pasal 50, yang menyatakan bahwa Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan. Dalam hal ini, masyarakat dapat diartikan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) secara luas, termasuk di dalamnya badan usaha.
     Dalam organisasi usaha, yang termasuk dalam kategori stakeholder adalah individu atau kelompok yang memiliki interest, hak (right) atau kepemilikan (ownership) dalam organisasi tersebut, termasuk di dalamnya aktivitas-aktivitas organisasinya. Pelanggan (customers), pemasok (suppliers), pegawai (employees) dan mitra-mitra stratejik lainnya adalah beberapa contoh tentang kelompok stakeholders. Setiap kelompok pemangku kepentingan tersebut dapat memetik manfaat dari keberhasilan dan menerima akibat kegagalan organisasi usaha tersebut.
     Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi bahan pangan melintasi batas-batas wilayah negara.
     Pada saat ini, sejak lahir sampai mati, kehidupan manusia (termasuk manusia Indonesia), didominasi oleh korporasi, yang menghasilkan antara lain bahan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Korporasi juga mempengaruhi berbagai segi kehidupan kita, mempengaruhi dan membentuk nilai dan budaya kita, melalui pengaruhnya terhadap lobi-lobi penyusunan peraturan perundangan, pendidikan, industri komunikasi, sponsorship dan sebagainya.
     Kita dapat merasakan dan melihat dari berbagai media komunikasi yang ada bagaimana korporasi membentuk budaya pangan melalui kampanyenya (iklan) terhadap bahan pangan yang sehat (menurut korporasi tersebut). Bahkan, krisis multidimensi yang dialami Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kegagalan korporasi untuk membangun industri yang sehat. Dari sekian ratus triliun rupiah utang yang ditanggung negara, sebagian terbesar merupakan akibat kegagalan koporasi tersebut.

Transparansi
     Reformasi yang memperoleh momentumnya pada pertengahan 1997/98 tidak hanya menuntut penyelenggara pemerintah untuk melakukan good governance, tetapi juga menuntut seluruh stakeholder untuk melakukan hal yang sama. Dalam hal kegiatan korporasi dituntut penyelenggaraan good corporate governance. Oleh karena itu, masyarakat juga memiliki hak untuk mengetahui apakah yang dilakukan oleh suatu korporasi telah memenuhi standar kegiatan tertentu atau justru berlawanan dengan hukum. Di sinilah pentingnya good corporate governance. Bagaimanakah menjelaskan hak-hak tersebut kepada masyarakat? Di sinilah pentingnya peran pemerintah, yang secara regular memberikan advokasi dan sosialisasi atas pentingnya good corporate covernance.
     Tanggung jawab atas kecukupan nutrisi para pekerjanya pada saat bekerja. Apabila pasal 41-44 Undang-Undang Pangan hanya mengatur hubungan antara badan usaha dengan konsumennya, bagaimana hubungan antara badan usaha dengan stakeholders-nya, utamanya para pekerja di dalam badan usaha itu sendiri? Sebagian besar hubungan ini memang sudah tercakup dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang di dalamnya antara lain termasuk pengupahan dan sebagainya.
     Tetapi bagaimana menjamin bahwa upah yang diberikan dapat menjamin nutrisi dan gizi yang cukup meskipun dengan upah minimal? Bagaimana para badan usaha dan pekerjanya mampu memenuhi standar minimal kecukupan gizi dan keamanan pangan sehingga para pekerja dapat bekerja secara produktif? Kasus-kasus keracunan makanan yang dilaporkan selama ini sebagian besar terjadi pada jasa usaha boga yang memasok makanan pagi para pekerja di badan-badan usaha dibandingkan dengan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat secara umum.
     Tanggung jawab untuk memberikan infomasi yang seimbang dan tidak menyesatkan dalam memasarkan produk-produk pangan produksinya. Tanggung jawab ini merupakan bagian dari implementasi good corporate governance, di mana informasi merupakan aspek yang stratejik. Peraturan pemerintah tentang Label dan Iklan antara lain juga dimaksudkan untuk merealisasikan kejujuran informasi ini. Tetapi, perkembangan teknologi mengakibatkan perlunya memikirkan kembali pengertian produk dan penamaannya yang dilabelkan tersebut. Sebagai contoh, apakah kedelai yang dihasilkan dari rekayasa genetika masih disebut kedelai atau bukan? Apabila kita hanya melihat fisiknya saja, mungkin jawabannya: ya, tetapi kalau kita membatasi pengertian kedelai sampai kepada struktur DNA-nya, tentu jawabannya: bukan!
     Contoh yang paling sensitif bagi masyarakat Indonesia adalah yang berkenaan dengan halal dan haram. Misalnya, apabila kambing dihasilkan dari rekayasa genetika dengan gen babi, sehingga menghasilkan kambing yang beranak banyak dan cepat, akan timbul dua masalah yang sangat krusial. Pertama, apakah binatang hasil rekayasa tersebut disebut kambing atau babi? Sebagai konsekuensinya, apakah binatang tersebut halal atau haram?

Tanggung Jawab
     Pada dasarnya, masyarakat juga mempunyai hak dan kewajiban untuk memroteksi diri dan kelompoknya dari berbagai tindakan eksternal yang mengancam keberadaannya dan budayanya (termasuk budaya/pola pangan). Pengalaman selama ini, menunjukkan bahwa penegakan hak dan kewajiban tersebut sangat lemah, karena itu, penegakan hak dan kewajiban tersebut memerlukan prasyarat penegakan hukum secara konsisten, yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga masyarakat.
     Oleh karena itu, pemerintah bersama-sama masyarakat harus mendorong dan memberikan kondisi yang kondusif bagi setiap anggota masyarakat untuk dapat memenuhi pangannya secara bermartabat dan berkelanjutan, sehingga tidak memberikan beban yang semakin berat bagi pemerintah dan masyarakat!
     Dengan pemikiran tersebut, masyarakat mempunyai kewajiban negatif; antara lain, tidak menghalangi anggota masyarakat lainnya untuk memperoleh aksesnya atas pangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Usaha-usaha yang dilakukan melalui pengadaan bahan pangan "sepanyol" (impor ilegal) yang dapat menekan pendapatan golongan masyarakat lainnya dapat dikategorikan upaya untuk mengurangi kemampuan daya beli dan akses masyarakat atas pangan; dan dengan demikian bertentangan dengan pemikiran hak dan kewajiban tersebut.
     Di samping kewajiban negatif tersebut, masyarakat juga mempunyai kewajiban positif: antara lain untuk menciptakan dan memberikan kontribusinya dalam menciptakan ketahananan pangan bagi masyarakat secara bermartabat dan berkelanjutan.
     Meskipun corporate citizenship ataupun corporate social responsibility merupakan ide dan konsep yang relatif baru, tetapi implementasi dari ide dan konsep tersebut sudah diimplementasikan beberapa waktu sebelumnya. Bahkan, implementasi tersebut lebih meluas lagi ketika Indonesia mengalami krisis multidimensi beberapa tahun yang lalu. Salah satu badan usaha di bidang elektronik di Jabotabek, melakukan penambahan gizi para pekerjanya, karena melihat produktivitas pekerjanya yang relatif rendah. Dengan sedikit tambahan energi dan vitamin (bubur kacang hijau dan telor), ternyata telah mampu meningkatkan produktivitas pekerjanya.
     Apabila tambahan tersebut diberikan dalam bentuk tunai (cash) yang dapat memberikan keleluasaan bagi pekerjanya untuk memilih ragam dan jenis konsumsinya, selama ini ternyata belum mampu meningkatkan produktivitas kerja.
     Di beberapa provinsi lain, badan usaha di bidang peternakan memberikan bea siswa bagi anak-anak di sekitar pabrik (farm) sehingga mereka dapat meneruskan pendidikan yang lebih tinggi. Beberapa usaha juga memberikan makanan tambahan bagi anak-anak sekolah untuk meningkatkan gizi dari produksi farmyang tidak dapat dijual, tetapi bukan yang tidak aman atau mengandung racun. Pada umumnya beberapa badan usaha mengimplementasikan corporate social responsibility sesuai dengan bidang usahanya, di bidang produksi makanan (roti) dengan roti, di bidang makanan susu (milk) dengan susu dan sebagainya. Beberapa media juga telah melakukan penghimpunan dana masyarakat untuk membantu masyarakat yang kurang beruntung.
     Apakah kegiatan social responsibility ini dapat dikembangkan menjadi kesadaran dan gerakan untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat? Hanya kesadaran bersama dan rasa saling-percaya saja yang mampu menggerakkan itu semua!
     Beberapa tahun yang lalu, pemerintah melalui Keputusan Presiden telah menetapkan agar Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMN) mengalokasikan lima persen dari labanya untuk pengembangan usaha kecil. Upaya seperti ini dapat dikatakan sebagai bagian dalam tanggung jawab badan usaha dalam mengembangkan usaha kecil.
     Tentu saja hal itu dapat dikembangkan kepada upaya perwujudan ketahanan pangan sesuai dengan UU. Nomor 7 tahun 1996 tersebut. Tetapi, belajar dari implementasi ketetapan pemerintah tersebut yang dinilai kurang berhasil, salah satu sebab kekurangberhasilannya adalah tidak adanya payung hukum yang melandasi hal tersebut. Oleh karena itu, payung hukum ini perlu segera dirumuskan agar pengembangan masyarakat dalam perwujudan ketahanan pangan dapat diimplementasikan secara nyata.

Penulis adalah Sekretaris Badan Bimas Ketahanan Pangan, Deptan.
Sumber: http://www.suarapembaruan.com

0 komentar:

Leave a Reply

Kalender


Polling

Membangun Konsumen Cerdas dan Mandiri




View Results

Pelacak IP